Alinea 10: Penyesalan Terhebat
Sabtu, Agustus 2018
Ko Loan: "Ko, papamu kondisinya gawat"
Nicho :"Kenapa??"
"Udah buruan kesini, pesen pesawat biar cepet"
"Iya, tapi kan mana ada duit langsung turun begitu"
"Yaudah kalo dibilang ngeyel. Ko Loan udah nelpon mamau ga diangkat. Kok ga ada yang peduli sama kondisi papamu gini."
"Mama kan kerja, aku bilangin mama dulu"
Lalu pesan berhenti hingga disitu. Aku pergi mencari mama. Dia adalah seorang guru les SMP di dekat sekolah ku. Dia tak lelah membanting tulang untuk keluarga ini, mengingat sudah 3 tahun papa tidak bekerja dan hanya hidup dari hasil tabungan selama ini. Kebetulan, tak lama mama pulang dan masuk kerumah.
"Ko, telpon ku hok ko..." Dia mengeluarkan sedikit tetes air mata disitu.
Tanpa pikir panjang, aku meraih ponsel ku dan menolpon kakak dari mama ku. Disaat yang bersamaan, Ko Loan menelpon mama ku kembali
"So, Dji Tsiang udah ga ada. Sekarang ada di Rumah Sakit Pantiwilaso. Tadi siang abis makan katanya kangen Nicho, aku bilang besok Sabtu kan libur, Nicho kesini.Abis aku buang sampah ke bawah. Dia cuma tidur doang, ga lama kata Dokter kondisinya drop."
Berita itu masuk ke telinga ku tanpa saringan apapun. Aku langsung masuk kamar, dan menangis. Aku tidak dapat menemui papa di kondisi terakhirnya. 1 Bulan yang lalu, setelah kepulangan ku papa sudah tampak sehat, aku pun sudah bilang kepada mama untuk membawa papa kembali, namun mama berkata "Nanti kamu boleh bawa papa, biar kondisinya semakin kuat dulu disemarang"
Hanya satu orang yang ku telpon dan menjadi tempat ku mengadu setelah Tuhan pada saat itu. Aku menelpon Cinta.
"Papa kko meninggal,Cin"
"Hah serius ko, ihh kko jangan sedih. Jangan nangiss. Kko harus kuat"
"Iya Cinta makasih. Kko cuma sedikit kesel karna gabisa bawa papa kko pulang ke Bekasi. Padahal adenya papa disana ngerawat papa juga kurang ikhlas."
"Kko gaboleh nangis, kko harus kuat ya"
"Iya Cinta, makasi yahh." Disaat seperti ini, menangis memang sudah sewajarnya terjadi. Entah bagaimana, hadirnya Cinta dapat mengurangi intensitas nangis ku. DI telpon dia seakan mengirim energi penguat kepada ku. Terimakasih Cinta Kanti Ratana. Tanpa kamu saat itu, entah bagaimana aku sekarang.
Sore itu aku berangkat ke Semarang, aku hanya menghubungi Cinta dan Wali Kelas ku, tapi cerita tersebut dapat menyebar begitu luas dengan cepat. Aku dibanjiri ucapan turut berduka cita dari siswa/i SMK, SMA, dan SMP Ananda. Bahkan ade kelas ku pun banyak yang memberikan bela sungkawa. Aku tidak ingin untuk membacanya. Aku hanya ingin membaca pesan dari Cinta saat itu.
"Cinta, kko blh minta tlong?"
"Kenapa kko?"
"Tolong hubungin Dinda anak X TKJ. Sampein ke dia, kalo Papa kko meninggal. Tolong minta dia sampein ke Fang Riyu."
"Oke kko, tapi malu"
"Gausah malu, ini kontaknya" Setelah itu aku berangkat ke Semarang, itu pesan ku untuk Cinta di waktu sebelum keberanghkatan ku.
Fang Riyu adalah teman terbaik ku dari SMP. Dia seorang yang rasional sehingga ketika aku curhat dengan dia, apabila aku salah dia akan menyalahakan aku. Dia sangat mengerti kondisi keluarga ku, semenjak meninggalnya kakek ku, aku bercerita kepada Fang, dan dia dapat memberi ku semangat. Begitu pula saat Papanya meninggal, aku pun hadir dan ada untuk dia. Kmai saling mendukung. Sedangkan Dinda, Dia pun sama dengan Fang. Dinda menjadi jalur komunikasiku dengan Fang satu satunya, karena Fang tidak memiliki HP. Dan rumah Dinda dan Fang tidak terlalu jauh.
Aku hanya menahan nangis dalam kurung waktu yang lama. Aku berangkat dari Bekasi pukul 19:00 malam hari dan tiba di Semarang pukul 3:00 pagi.
"Langsung kerumah duka aja mah" Seru aku.
"Kita kerumah engkong dulu aja ya. Istirahat masih jam 3 pagi"
"Ga ahh, langsung aja kesana"
"Ini masih pagi cho. Kamu dengerin kata mama. Papa itu di rumah duka tiong hoa ie wan. Kamu tau kan kalau kesitu masih gelap begini"
"hm..." aku pasrah dan menurut dengan mama.
Aku raih ponsel genggam ku dan segera memesan taxi online menuju Jl. Tirtoyo. Perjalanan kesana cukup alot. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut ku ataupun mulut mama. Sesampainya di sana, kami langsung disambut oleh nenek ku. Kami dipersilahkan untuk beristirahat dahulu. Malam itu jujur aku tak dapat tidur. Pagi pun tiba, tetapi mereka belum juga ada yang bangun. Aku sudah tak tahan ingin mengunjungi papa. Kurang lebih pukul 07 pagi aktifitas baru terjadi disana. Kami saling bergantian untuk mandi dengan kamar mandi yang terbatas, dan sebagian sarapan untuk mengisi perut. Jam 8 pagi keinginan ku baru terwujud. Aku diantar dengan adik ipar papa ku menuju rumah duka. Aku sedikit terkejud dengan tempat / ruangan duka yang dipilih oleh papa adalah ruangan yang berada tepat dengan ruangan yang digunakan saat kakek ku meninggal dunia. Kurang lebih 3 tahun yang lalu, kakek ku meninggal. Aku adalah cucu satu satunya yang laki laki dan paling dia sukai, tak heran aku sangat sedih ketika Ia meninggal, begitu juga papa ku. Papa adalah sosok yang keras, pendiam, aku selalu takut dengan dia walau dia tak bicara, tapi dia baik. Aku tau dia tidak marah, tetapi dia selalu memedulikan ku dan perhatian pada ku. Dia orang yang sangat baik. Aku banyak belajar dari dirinya, meski dia juga memiliki banyak sisi buruk yang tak ingin aku ikuti.
Aku berlari dan segera mengunjungi papa, aku ingin rasanya memuluk mu lagi lebih dari 2 x pah. Ketika aku melihat tubuh papa yang terbaring di dalam peti, aku terkejut. Tubuh papa sangat kuat dan segar disana. Meski tak di formalin, tetapi tubuhnya tidak menunjukkan adanay keriput sama sekali. Aku langsung menyembayanginya sebagi anak lelaki satu satunya yang Ia miliki, Air mata ku tak tertahan dan menetes begitu banyak dibanding dengan yang dirumah.
Ko Loan: "Ko, papamu kondisinya gawat"
Nicho :"Kenapa??"
"Udah buruan kesini, pesen pesawat biar cepet"
"Iya, tapi kan mana ada duit langsung turun begitu"
"Yaudah kalo dibilang ngeyel. Ko Loan udah nelpon mamau ga diangkat. Kok ga ada yang peduli sama kondisi papamu gini."
"Mama kan kerja, aku bilangin mama dulu"
Lalu pesan berhenti hingga disitu. Aku pergi mencari mama. Dia adalah seorang guru les SMP di dekat sekolah ku. Dia tak lelah membanting tulang untuk keluarga ini, mengingat sudah 3 tahun papa tidak bekerja dan hanya hidup dari hasil tabungan selama ini. Kebetulan, tak lama mama pulang dan masuk kerumah.
"Ko, telpon ku hok ko..." Dia mengeluarkan sedikit tetes air mata disitu.
Tanpa pikir panjang, aku meraih ponsel ku dan menolpon kakak dari mama ku. Disaat yang bersamaan, Ko Loan menelpon mama ku kembali
"So, Dji Tsiang udah ga ada. Sekarang ada di Rumah Sakit Pantiwilaso. Tadi siang abis makan katanya kangen Nicho, aku bilang besok Sabtu kan libur, Nicho kesini.Abis aku buang sampah ke bawah. Dia cuma tidur doang, ga lama kata Dokter kondisinya drop."
Berita itu masuk ke telinga ku tanpa saringan apapun. Aku langsung masuk kamar, dan menangis. Aku tidak dapat menemui papa di kondisi terakhirnya. 1 Bulan yang lalu, setelah kepulangan ku papa sudah tampak sehat, aku pun sudah bilang kepada mama untuk membawa papa kembali, namun mama berkata "Nanti kamu boleh bawa papa, biar kondisinya semakin kuat dulu disemarang"
Hanya satu orang yang ku telpon dan menjadi tempat ku mengadu setelah Tuhan pada saat itu. Aku menelpon Cinta.
"Papa kko meninggal,Cin"
"Hah serius ko, ihh kko jangan sedih. Jangan nangiss. Kko harus kuat"
"Iya Cinta makasih. Kko cuma sedikit kesel karna gabisa bawa papa kko pulang ke Bekasi. Padahal adenya papa disana ngerawat papa juga kurang ikhlas."
"Kko gaboleh nangis, kko harus kuat ya"
"Iya Cinta, makasi yahh." Disaat seperti ini, menangis memang sudah sewajarnya terjadi. Entah bagaimana, hadirnya Cinta dapat mengurangi intensitas nangis ku. DI telpon dia seakan mengirim energi penguat kepada ku. Terimakasih Cinta Kanti Ratana. Tanpa kamu saat itu, entah bagaimana aku sekarang.
Sore itu aku berangkat ke Semarang, aku hanya menghubungi Cinta dan Wali Kelas ku, tapi cerita tersebut dapat menyebar begitu luas dengan cepat. Aku dibanjiri ucapan turut berduka cita dari siswa/i SMK, SMA, dan SMP Ananda. Bahkan ade kelas ku pun banyak yang memberikan bela sungkawa. Aku tidak ingin untuk membacanya. Aku hanya ingin membaca pesan dari Cinta saat itu.
"Cinta, kko blh minta tlong?"
"Kenapa kko?"
"Tolong hubungin Dinda anak X TKJ. Sampein ke dia, kalo Papa kko meninggal. Tolong minta dia sampein ke Fang Riyu."
"Oke kko, tapi malu"
"Gausah malu, ini kontaknya" Setelah itu aku berangkat ke Semarang, itu pesan ku untuk Cinta di waktu sebelum keberanghkatan ku.
Fang Riyu adalah teman terbaik ku dari SMP. Dia seorang yang rasional sehingga ketika aku curhat dengan dia, apabila aku salah dia akan menyalahakan aku. Dia sangat mengerti kondisi keluarga ku, semenjak meninggalnya kakek ku, aku bercerita kepada Fang, dan dia dapat memberi ku semangat. Begitu pula saat Papanya meninggal, aku pun hadir dan ada untuk dia. Kmai saling mendukung. Sedangkan Dinda, Dia pun sama dengan Fang. Dinda menjadi jalur komunikasiku dengan Fang satu satunya, karena Fang tidak memiliki HP. Dan rumah Dinda dan Fang tidak terlalu jauh.
"Langsung kerumah duka aja mah" Seru aku.
"Kita kerumah engkong dulu aja ya. Istirahat masih jam 3 pagi"
"Ga ahh, langsung aja kesana"
"Ini masih pagi cho. Kamu dengerin kata mama. Papa itu di rumah duka tiong hoa ie wan. Kamu tau kan kalau kesitu masih gelap begini"
"hm..." aku pasrah dan menurut dengan mama.
Aku raih ponsel genggam ku dan segera memesan taxi online menuju Jl. Tirtoyo. Perjalanan kesana cukup alot. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut ku ataupun mulut mama. Sesampainya di sana, kami langsung disambut oleh nenek ku. Kami dipersilahkan untuk beristirahat dahulu. Malam itu jujur aku tak dapat tidur. Pagi pun tiba, tetapi mereka belum juga ada yang bangun. Aku sudah tak tahan ingin mengunjungi papa. Kurang lebih pukul 07 pagi aktifitas baru terjadi disana. Kami saling bergantian untuk mandi dengan kamar mandi yang terbatas, dan sebagian sarapan untuk mengisi perut. Jam 8 pagi keinginan ku baru terwujud. Aku diantar dengan adik ipar papa ku menuju rumah duka. Aku sedikit terkejud dengan tempat / ruangan duka yang dipilih oleh papa adalah ruangan yang berada tepat dengan ruangan yang digunakan saat kakek ku meninggal dunia. Kurang lebih 3 tahun yang lalu, kakek ku meninggal. Aku adalah cucu satu satunya yang laki laki dan paling dia sukai, tak heran aku sangat sedih ketika Ia meninggal, begitu juga papa ku. Papa adalah sosok yang keras, pendiam, aku selalu takut dengan dia walau dia tak bicara, tapi dia baik. Aku tau dia tidak marah, tetapi dia selalu memedulikan ku dan perhatian pada ku. Dia orang yang sangat baik. Aku banyak belajar dari dirinya, meski dia juga memiliki banyak sisi buruk yang tak ingin aku ikuti.
Aku berlari dan segera mengunjungi papa, aku ingin rasanya memuluk mu lagi lebih dari 2 x pah. Ketika aku melihat tubuh papa yang terbaring di dalam peti, aku terkejut. Tubuh papa sangat kuat dan segar disana. Meski tak di formalin, tetapi tubuhnya tidak menunjukkan adanay keriput sama sekali. Aku langsung menyembayanginya sebagi anak lelaki satu satunya yang Ia miliki, Air mata ku tak tertahan dan menetes begitu banyak dibanding dengan yang dirumah.
Komentar
Posting Komentar